Oleh: Saifuddin
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yang dikenal dengan sebutan “Serumpun Sebalai,” kini memasuki usia yang relatif muda—24 tahun, sama dengan Provinsi Banten dan Kepulauan Riau. Sejak terbentuknya, provinsi ini telah dipimpin oleh empat gubernur, dan pada 2024 mendatang, Pilgub akan kembali digelar.
Meskipun usianya baru, proses demokrasi dan pembangunan di Bangka Belitung tak boleh terhenti. Tahun 2024, Pilkada serentak akan dilaksanakan di 545 daerah, mencakup 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Untuk Bangka Belitung, Pilgub kali ini diperkirakan akan diwarnai oleh isu ekonomi yang krusial, terutama terkait tata niaga timah, yang merupakan penopang utama ekonomi daerah.
Sektor pertimahan telah lama menjadi sokoguru ekonomi di Bangka Belitung, dan persoalan tata niaga timah akan menjadi salah satu topik utama dalam kampanye Pilgub 2024. Ada dua skenario yang mungkin terjadi: pertama, isu ini bisa dijadikan senjata untuk menjatuhkan lawan politik melalui serangan negatif (political decay). Kedua, isu ini dapat dijadikan pijakan oleh kandidat yang menawarkan solusi nyata untuk memperbaiki tata kelola sektor timah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dengan sebagian besar penduduk Bangka Belitung bergantung pada industri timah, kebijakan yang tepat terhadap tata niaga timah sangat menentukan masa depan ekonomi daerah ini. Para kandidat dalam Pilgub harus mampu menghadirkan visi yang konkret dan solutif untuk memperbaiki pengelolaan sektor ini, agar kesejahteraan masyarakat meningkat.
Menjelang Pilgub 2024, konstelasi politik di Bangka Belitung tampak terpengaruh oleh dinamika politik nasional. Pada Pilpres 2024, tiga koalisi besar terbentuk: Koalisi Perubahan (Nasdem, PKS, PKB), Koalisi Keberlanjutan (Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat), serta koalisi yang digawangi PDIP, Hanura, dan PPP. Pertanyaan yang muncul: apakah peta koalisi nasional ini akan berdampak pada politik lokal?
Mengacu pada teori politik dari David Easton, koalisi dalam demokrasi transisi seperti di Indonesia tidak pernah permanen. Komposisi politik di tingkat nasional bisa saja berubah di tingkat lokal, menyesuaikan dengan kepentingan dan kekuatan politik daerah. Di Bangka Belitung, misalnya, meski koalisi nasional ada, situasi politik lokal bisa berbeda.
Kemungkinan besar persaingan akan terjadi antara dua tokoh utama: Erzaldi Rosman, mantan gubernur dan Ketua DPD Gerindra Bangka Belitung, serta Hidayat Arsani, mantan wakil gubernur dari Golkar. Jika keduanya maju, peta koalisi nasional bisa berubah karena keduanya memiliki basis politik yang kuat di tingkat lokal.
Erzaldi Rosman baru menyelesaikan masa jabatan sebagai gubernur pada 2022, dan ingatan publik tentang kinerjanya masih segar. Di masa pandemi Covid-19, Erzaldi bersama beberapa gubernur lain, seperti Anies Baswedan dan Khofifah Indar Parawansa, berhasil mencetak prestasi dalam menangani krisis. Hal ini akan menjadi modal penting bagi Erzaldi untuk kembali bertarung di Pilgub 2024.
Kemenangan Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024 di Bangka Belitung juga memberikan angin segar bagi Erzaldi. Ditambah lagi, keberhasilan istrinya, Melati Erzaldi, melenggang ke Senayan dari Gerindra, menambah modal politik yang kuat bagi Erzaldi. Dengan dukungan dari partainya, Erzaldi memiliki fondasi politik yang kokoh untuk kembali bertarung memperebutkan kursi gubernur.
Selain modal politik, Erzaldi juga memiliki jaringan sosial yang luas dan dikenal sebagai tokoh yang dekat dengan masyarakat. Keberhasilan menjaga hubungan dengan berbagai lapisan masyarakat ini menjadi salah satu kekuatan utama yang bisa diandalkan dalam kontestasi politik di Bangka Belitung.
Erzaldi Rosman dipandang sebagai sosok yang mumpuni untuk melanjutkan pembangunan di Bangka Belitung. Dengan rekam jejak prestasi, modal sosial, serta dukungan politik yang kuat, Erzaldi menjadi salah satu kandidat yang paling potensial untuk memimpin kembali provinsi ini. Pilgub 2024 akan menjadi panggung penting bagi masyarakat Bangka Belitung untuk menentukan masa depan daerah mereka.
Penulis: Saifuddin (Direktur Eksekutif LKiS)
Penulis buku: Politik Tanpa Identitas, Obituari Demokrasi, Elegi Demokrasi, Catatan Cacat-an Demokrasi
(T-APPI)