Dr. Marshal : Persoalan Beriga merupakan Golden Moment untuk Babel dalam mendapatkan royalti 10%

PANGKALPINANG – Konflik terkait tambang laut di Batu Beriga dinilai sebagai momentum strategis bagi Bangka Belitung (Babel) untuk menuntut pembagian royalti yang lebih adil dari PT Timah. Marshal Imar Pratama, seorang ekonom Babel, menilai bahwa perlawanan masyarakat terhadap aktivitas tambang di kawasan tersebut bisa menjadi dasar untuk memperjuangkan peningkatan royalti hingga 10% untuk provinsi itu.

“Babel sudah terlalu lama mengalami dampak negatif dari tambang. Saat ini, PT Timah tengah berada dalam posisi dilematis, dan inilah saatnya Babel memiliki nilai tawar yang kuat,” kata Marshal dalam keterangannya kepada awak media. “Jika konflik ini dimanfaatkan dengan baik, ini bisa menjadi jalan bagi Babel untuk meraih royalti yang lebih layak dari PT Timah.”

Marshal mengkritik PT Timah yang menurutnya sering berdalih bahwa kontribusinya sudah cukup besar bagi Babel, sementara kenyataannya tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan akibat operasi tambang. Ia mengungkapkan, meski PT Timah mengklaim sulit memberikan royalti 10%, namun lebih memilih menanggung kebocoran sebesar Rp 300 triliun daripada mengalihkan royalti yang signifikan bagi Babel.

“Babel harus memiliki nilai tawar yang tinggi. Dengan royalti yang memadai, Babel bisa memperbaiki dampak kerusakan lingkungan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” lanjutnya. “Setidaknya, royalti 10% ini menjadi hak permanen yang bisa kita tuntut dari PT Timah.”

Marshal menyarankan agar royalti ini dapat berbentuk obligasi atau aset jangka panjang yang dapat diinvestasikan oleh Babel. Baginya, permintaan royalti tersebut sebanding dengan waktu panjang selama Babel menanggung aktivitas tambang timah yang belum memberikan manfaat signifikan bagi daerah, kecuali sebagai penyedia lapangan kerja jangka pendek.

“Kenyataannya, Babel tidak mampu maju karena sebagian besar masyarakat masih berpikir konservatif, seringkali menyamakan lapangan pekerjaan dengan keberadaan tambang,” ungkapnya. “Padahal, ada potensi lain yang dapat dikembangkan.”

Menurut Marshal, pemerintah perlu mendekati masyarakat dengan cara yang komprehensif, khususnya dalam menanggulangi dampak tambang ilegal dan menciptakan alternatif ekonomi yang berkelanjutan. Di antaranya:

1. Pelatihan Keterampilan Alternatif – Masyarakat perlu dilatih dalam bidang pertanian, peternakan, atau usaha kecil, disesuaikan dengan potensi lokal.

2. Dukungan Usaha Mikro – Bantuan modal atau akses ke kredit mikro untuk masyarakat yang ingin memulai usaha baru setelah tambang ditutup.

3. Pengembangan Ekonomi Lokal – Potensi seperti pariwisata, kerajinan, atau pertanian berkelanjutan bisa dimaksimalkan untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru.

4. Keterlibatan Komunitas dalam Pengambilan Keputusan – Mengajak masyarakat berpartisipasi dalam perencanaan dan keputusan terkait penutupan tambang, agar tercipta solusi yang adil dan berkelanjutan.

“Pendekatan ini menunjukkan bahwa kebijakan tidak hanya mempertimbangkan kelestarian lingkungan, tetapi juga kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh,” ujar Marshal.

Di akhir pernyataannya, Marshal kembali menekankan pentingnya kontribusi PT Timah bagi Babel dan menegaskan bahwa konflik ini dapat dimanfaatkan untuk menaikkan nilai tawar Babel. Menurutnya, dengan royalti yang hanya 1%, Babel sulit membangun kembali perekonomiannya di masa depan.

“Kita ingin royalti 10% ini menjadi nilai tawar yang kuat bagi Babel. Timah lambat laun akan habis, dan Babel butuh persiapan ekonomi yang lebih baik. Dengan kontribusi yang memadai, kita bisa membangun Babel yang lebih sejahtera,” pungkas Marshal.

(T-APPI)

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *